Jumat, 13 Februari 2015

Ada Apa Dengan Batu Akik?


Seniman Remy Sylado mengenakan batu akik di sepuluh jari tangannya. Butet Kartaredjasa menyimpan koleksi puluhan batu akik di kotak deposit di sebuah bank. Kini batu akik menjadi gaya hidup. Ada apa dengan batu akik?

Butet Kartaredjasa menyimpan akik di bank semata demi pengamanan bagi batu akik serta batu mulia yang diwarisinya dari almarhum sang ayah, mendiang Bagong Kussudiardja. Penari dan koreografer Bagong, menurut Butet, selalu membawa tiga kantong kulit berisi beragam batu akik. Di tengah jalan, Bagong bisa berhenti lalu bercerita tentang akiknya hingga berjam-jam. Setelah Bagong meninggal, ratusan batu akik itulah yang kemudian dibagi oleh anak-anaknya.

Bagong bahkan pernah membeli lukisan dari seorang seniman terkenal dengan barter batu akik. "Kalau ada saudara yang kepepet butuh duit, mereka menjual akik ke saya. Mertua juga senang menghadiahi akik. Lama-lama suka," kata Butet.

Sejak mahasiswa, Butet memakai cincin berhias batu merah hitam. Kala itu, dia merasa penampilannya kurang macho. Tanpa kumis dan tidak tertarik memakai beragam aksesori, penampilannya sebelum memakai cincin akik dirasa "pucat". "Dulu aku bukan penggemar batu. Suatu hari nonton Jakarta Fair, tertarik lihat stan yang jual batu," kata Butet.

Keindahan alamiah akik itu pula yang membuat sastrawan Remy Sylado jatuh hati. Sejak 1970-an, Remy sudah mengoleksi beragam jenis batu akik.Memakai batu, menurut Remy, tidak lantas membangun sebuah perasaan tertentu. Selain sekadar suka, Remy bisa menjalin dialog dengan orang lain lewat sarana batu.

Selain sebagai kegemaran, batu juga dijadikan peluang mendulang uang. Ini antara lain dilakukan Andi Nugraha (26), analis pada sebuah bank. Dia tidak keberatan melepas beberapa butir batu kesukaannya jika memang harganya cocok. Apalagi jika nilai tukarnya bisa sampai dua kali lipat dari harga beli.

Andi kini menyimpan lima butir batu jenis chalcedony, kecubung, pyernhite nigeria, dan american black star, yang harganya mulai dari Rp 100.000 sampai Rp 500.000. "Kalau pandai menjual, bisa untung dua kali lipat," kata Andi, yang beberapa hari lalu menjual dua batu seharga Rp 350.000. Padahal, dia hanya membeli dengan harga setengahnya.

Sosiolog Jean Couteau mengatakan, fenomena batu di Indonesia bukan hal baru. Sejak dulu batu akik secara tradisional dianggap memiliki kekuatan magis. Jika tiba-tiba fenomena itu meledak sekarang, "Barangkali punya kaitan dengan kebuntuan sosial politik yang kini terjadi. Lalu orang lari pada batu-batu." Namun, kata Jean, itu analisis yang masih bisa diperdebatkan. Ia hanya bersandar pada kecenderungan orang-orang Indonesia yang secara tradisional memilih meratap pada benda-benda ketimbang mempertanyakannya secara rasional.

Sumber: Natgeo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar